Senin, 22 Desember 2008

Empat Pola Pendidikan Kristen dan Penerapannya

I. PENDAHULUAN.
Pada paper ini saya akan mencoba untuk menjelaskan setiap pendekatan yang dilakukan dalam Pendidikan Kristiani. Setelah menjelaskan setiap pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan dalam pendidikan Kristiani, saya akan menilai pendekatan itu dan memberikan relevansinya.
Setelah melewati semua tahap tersebut saya akan berusaha mengkategorikan gereja saya masuk kedalam pendekatan apa? Setelah tahu bahwa gereja saya mengguanakan pendekatan apa, saya akan mencoba melihat apakah pendekatan yang dilakukan oleh gereja saya sudah benar, jika belum pendekatan apakah yang harus diterapkan oleh gereja saya dengan memperhatikan konteks jemaat di sana.

II. DESKRIPSI MASING-MASING PENDEKATAN.
2.1 Pendekatan Instruksional.
Konsep tentang “instruksi” didapat dari memikirkan proses pembelajaran yang resmi. Yang terdapat tempat duduk dan meja-meja, meja tulis dan panggung, papan kapur dan VCR adalah benda-benda yang mengisi ruang itu . Dari kondisi ini nampak bahwa pendekatan ini terjadi di kelas-kelas tertentu.
Tujuan dari pendekatan ini adalah membuat sebuah kurikulum yang bisa memenuhi kebutuhan para naradidik dengan memperhatikan konteks lingkungan sosial naradidik dan juga bisa membuat suatu hubungan dari isi iman Kristen dengan kehidupan sehari-hari. Yang dimaksudkan dengan memperhatikan lingkungan sosial naradidik adalah bagaimana pembelajaran yang dilakukan bisa sesuai dengan apa yang sedang terjadi di tempat itu. Membuat suatu hubungan antara isi iman Kristen dengan kehidupan nyata adalah seperti perumpamaan hubungan antara pikiran dan hati . Pikiran dan hati haruslah berjalan selaras jika tidak keputusan yang diambil pasti kurang tepat karena hanya mementingkan satu unsur entah unsur perasaan atau nalar. Begitu pula hubungan anatara isi iman Kristen dengan kehidupan nyata, jika hanya salah satu yang diterapkan maka kehidupan kita pastilah tidak seimbang karena kita berat sebelah baik hanya mementingkan iman kita atau hanya memperdulikan kehidupan kita tanpa memikirkan iman kita atau kepercayaan kita kepada Tuhan.
Tugas guru atau pengajar dalam pendekatan ini adalah sebagai orang yang dihormati atas kontribusinya dalam proses pembelajaran, selain itu guru juga harus bisa menghargai setiap proses yang terjadi dalam proses pembelajaran . Yang diharapkan dengan guru memperhatikan setiap proses pembelajaran adalah guru dapat mengambil pengalaman selama mengajar dan dapat menentukan apa yang baik untuk kemudian hari.
Proses pembelajaran yang dilakukan dalam pendekatan ini biasanya melalui pembelajaran resmi seperti seminar jika untuk orang dewasa dan sekolah minggu jika untuk anak-anak. Pada proses pembelajaran ini yang diharapkan dapat berkembang secara iman bukan hanya naradidik tetapi juga guru, karena seperti telah ditulis diatas guru juga harus memperhatikan setiap proses sehingga dia juga dapat belajar dari pengalaman mengajarnya dan dapat memberikan yang lebih baik bagi naradidik. Dalam proses pembelajaran ini juga diharapkan guru bisa mempersiapkan naradidik untuk memasuki gereja dengan hati dan pikiran yang terbuka untuk belajar tentang iman dan kemudian naradidik diharapkan untuk bisa menghubungkan pembelajaran secara komunitas yang dilakukan oleh guru .
Implikasinya dalam pelayanan adalam untuk menyiapkan naradidik agar beriman dan dapat hidup secara bertanggung jawab dan menghadapi dunia. Naradidik juga disiapkan untuk menghadapi kehidupan di dunia dengan mengacu pada iman yang dimilikinya . Dari implikasi yang seperti ini jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini harus mempunyai tujuan yang jelas, seperti contoh dalam renungan harian atau bahan P.A yang dibuat oleh gereja harus terdapat tujuan yang jelas dari bahan yang telah dibuat. Dengan adanya tujuan yang jelas sehingga dapat dilihat hasilnya. Dari tujuan itu dapat diteliti hasilnya apakah naradidik sudah benar-benar bisa bertindak sesuai dengan tujuan dari pendekatan yang dilakukan, dari hal ini dapat dinilai apakah pendekatan ini sudah berhasil atau belum.

2.2 Pendekatan Perkembangan Spiritual.
Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk membantu orang-orang agar dapat meningkatkan kehidupan pribadinya dan dapat merespon dengan memberikan tindakan keluar kepada orang lain dan kepada dunia. Yang dimaksudkan disini adalah melalui pendekatan ini naradidik dapat belajar untuk mengenal dirinya sendiri terlebih dahulu kemudian bisa menentukan sendiri tindakan sesuai dengan kepercayaannya sendiri. Melalui pendekatan ini diharapkan naradidik bisa tumbuh secara pribadi tidak seperti pendekatan sebelumnya yang berujuan untuk mendidik naradidik secara komunitas. Dengan berkembang menurut keyakinannya sediri diharapkan naradidik bisa benar-benar menghayai iman percayanya sehingga tidak mudah terpengaruh.
Disini tugas guru hanya sebagai penunjuk bagi naradidik. Dengan petunjuk yang diberikan oleh guru diharapkan naradidik dapat berkembang secara pribadi sesuai dengan keinginannya dan dapat memberikan tindakan keluar sesuai dengan pemahaman pribadi dialaminya. Naradidik adalah orang yang berada dalam proses perjalanan tersebut. Yang menentukan berhasil tidaknya naradidik dalam proses pembelajaran tersebut adalah naradidik itu sendiri, apakah naradidik mau mengikuti petunjuk yang diberikan oleh guru.
Proses pembelajarannya dilakukan dengan cara saat teduh, meditasi, dan menguduskan hari sabat biasanya dengan cara pergi ke gereja serta melayani . Dari sini nampak bahwa pendekatan ini berusaha mengajak naradidik untuk bisa berkembang sendiri sesuai dengan perkembangan iman masing-masing naradidik.
Pendekatan ini bisa dilakukan pada konteks apapun dimana naradidik melakukan proses perkembangan imannya dan melakukan tindakan keluar atas proses perkembangan iman yang dialaminya. Jadi pendekatan ini tidak perlu dilakukan dengan cara khusus atau dengan seminar-seminar seperti dalam pendekatan sebelumnya. Pendekatan ini mengembangkan iman naradidik dengan sesuai dengan pengalaman yang dialaminya. Jadi ada kemungkinan perkembangan iman masing-masing naradidik berbeda satu dengan yang lain, karena pengalaman yang dialami masing-masing naradidik juga berbeda-beda.
Implikasinya pada pelayanan adalah melalui pendekatan ini berusaha menghubungkan antara orang-orang atau naradidik dengan hasil terdalam yang dari kehidupan yang mengajaknya untuk membangun hubungan, persahabatan, kepedulian, dan keadilan. Dari perkembangan yang telah dialami oleh masing-masing naradidik, selanjutnya naradidik diharapkan bisa membangun hubungan baik. Pendekatan ini sulit untuk dinilai secara tertulis seperti pendekatan sebelumnya, karena hasil dari pendekatan ini tidak sama satu dengan yang lain.
Adapun tokoh-tokoh yang ikut medukung pendekatan ini dengan mengemukakan teori-teori mereka, adalah :
1. Jean Piaget, yang mengemukakan teori perkembangan kognitif manusia. Piaget membagi tahap perkembangan kognitif menjadi empat tahap yaitu tahap sensomotor, tahap praoperasi, tahap operasi konkret, dan tahap operasi formal . Tahap ini hanya menunjukkan tahap perkembangan kognitif saja tanpa memperhatikan unsur lain yang juga berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tahap perkembangan kognitif manusia maksudnya adalah tahap perkembangan otak seseorang dan kedewasaan seseorang diukur melalui bagaimana dia dapat berpikir secara nalar. Urutan tahap tadi tidak dapat ditukar, karena tiap tahap saling berkaitan yaitu tahap sesudahnya menentukan tahap sebelumnya .
2. L. Kohlberg, yang mengemukakan teori perkembangan moral. Kohlberg meneliti perkembangan moral manusia dalam rangka melakukan pendekatan pertumbuhan iman. Kohlberg membagi tahap perkembangan moral seseorang menjadi tiga tahap yaitu :
· Tahap Pra-Konvensional, pada tahap ini anak peka terhadap aturan-aturan budaya dan ungkapan-ungkapan mengenai baik buruk . Pada tahap ini anak lebih memandang baik buruknya sesuatu dari segi fisiknya saja dan kadang mereka menganggap sesuatu baik jika memuaskan mereka atau orang lain.
· Tahap Konvensional, adalah tahap ketika seseorang sudah bisa menghargai hukum, tetapi mereka menghargai hukum dikarenakan mereka takut pada hukum itu atau karena ingin dianggap sebagai “anak manis” .
· Tahap Post-Konvensional, adalah pada tahap ini seseorang sudah mencapai puncak dari perkembangan moral manusia. Pada tahap ini seseorang melakukan suatu kebaikan bukan karena takut akan hukum melainkan karena kesadaran mereka untuk melakukan kebaikan . Pada tahap ini juga seolah-olah tidak lagi diperlukan adanya hukum yang mengatur kehidupan manusia karena pada tahap ini seseorang sudah mengakui persamaan derajat diantara sesama manusia. Jadi manusia tidak akan melakukan kejahatan kepada sesamanya.
3. Erik Erikson, yang mengemukakan teori psikososial. Yang dimaksudkan teori psikososial yakni menyelidiki hakiakat manusia . Erikson mengatakan bahwa perkembangan iman seseorang dipengaruhi oleh lingkungan sosial tempat seseorang itu bertumbuh dan berkembang.
4. Fowler, yang mengemukakan teori perkembangan kepercayaan. Pada teorinya ini yang ditekankan oleh Fowler adalah sisi kepercayaan seseorang bukan tentang isi iman orang tersebut . Fowler tidak menekankan isi atau struktur dari isi iman Kristen yang dipelajari tetapi pada kepercayaannya karena kepercayaan adalah unsur yang paling menetukan dibandingkan dengan isi atau struktur dari apa yang mau diajarkan. Jika seseorang terus dilatih untuk hanya percaya pada semua kata-kata guru maka selamanya anak ini akan sulit untuk bisa berfikir secara kritis.

2.3 Pendekatan Komunitas Iman.
Pendekatan ini bertujuan untuk membangun komunitas yang dapat menunjukkan perkembangan manusia yang sesungguhnya dan menolong orang-orang untuk dapat menetukan komunitas mana yang harus ia ikuti. Pendekatan ini lebih dititk beratkan untuk membuat suatu komunitas iman yang dapat membangun iman setiap anggota dalam komunitas tersebut dan mampu memberikan tindakan keluar. Perkembangan manusia yang sesungguhnya disini adalah perkembangan hubungan antara seorang dengan sesamanya, dengan komunitasnya dan dengan dunia . Dengan membentuk suatu kelompok-kelompok kecil diharapkan gereja bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Dengan kelompok kecil ini diharapkan agar naradidik bisa berlatih untuk bisa berhubungan dengan orang lain dalam hubungan yang dialektis dengan orang lain .
Tugas guru dalam pendekatan ini adalah sebagai pemimpin dari kelompok-kelompok kecil dalam struktur kehidupan dan misi dari jemaat. Disinilah tugas guru yang sebagai pemimpin dapat berfungsi secara sesungguhnya. Sedangkan posisi naradidik dalam pendekatan ini adalah sebagai orang-orang yang ada dalam komunitas tersebut yang seharusnya berkembang bersama-sama secara iman. Tetapi yang menjadi pertanyaan penting adalah apakah setiap perkumpulan atau tempat orang-orang biasa berkumpul bisa disebut komunitas? Suatu perkumpulan dapat dikatakan sebagai komunitas jika dalam perkumpulan tersebut terdapat rasa saling memperhatikan, menguatkan dan sebagainya. Jadi suatu perkumpulan dapat disebut sebagai komunitas jika didalamnya terdapat sikap “saling”.
Proses yang terjadi dalam pendekatan ini adalah melayani, berlefleksi dan bertindak/beraksi. Sebagai wujud dari rasa “saling” tadi jadi setiap naradidik maupun guru harus bisa melayani satu sama lain. Dalam proses melayani tersebut juga pasti bersangkutan dengan tindakan yang dilakukan. Tindakan disini biasanya bersifat “Think Globally Act Locally” atau “Think Locally Act Globally”. Perbedaan dua tindakan ini adalah kalau “Think Globally Act Locally” ini biasanya komunitas yang hanya berfikir terlalu jauh tapi tidak ada tindakan konkret yang dilakukannya, seperti contoh saat ada penganiayaan kepada umat Kristen di Poso, komunitas di suatu tempat lain sudah mengatakan mengutuk tindakan itu tetapi yang mereka lakukan hanya berdoa dalam gereja atau saat ibadah tanpa ada tindakan nyata yang dilakukan. Sedangkan “Think Locally Act Globally” ini berbeda dengan tindakan sebelumnya, tindakan seperti ini dilakukan oleh suatu komunitas yang sebenarnya untuk kepentingan penyelesaian masalah yang mereka alami sendiri tapi tindakan mereka dapat membawa efek bagi orang-orang di daerah lain. Setelah melakukan tindakan-tindakan itu perlu ada refleksi untuk merenungkan dan memperbaiki tindakan yang telah dilakukan.
Konteks dari pendekatan ini adalah untuk membuat suatu kelompok-kelompok kecil agar bisa berkumpul dan membentuk suatu kelompok yang lebih besar. Kelompok ini berfungsi sebagai perpanjangan tangan gereja dalam rangka mewujudkan pelayanan kepada semua warganya. Dalam komunitas ini juga diharapkan anggota kelompok bisa membagikan sesuatu yang sebelumnya mungkin tidak dialami oleh anggota kelompok yang lain . Dengan saling membagi itu diharapkan setiap naradidik bisa memperkaya penglamannya dalam menghadapi kehidupan ini.
Implikasi pedekatan ini terhadap pelayanan adalah untuk membantu kelompok kecil atau gereja untuk bisa menambah komunitas-komunitas dalam gereja. Dengan adanya suatu komunitas dalam gereja maka akan mempermudah gereja untuk bisa menjamah seluruh warga jemaatnya. Selain itu dengan kelompok yang lebih kecil biasanya orang lebih mudah untuk bercerita tentang masalah yang sedang dihadapinya sehingga gereja lebih mengerti masalah yang dihadapi oleh jemaatnya dan gereja bisa menyelesaikan masalah tersebut.

2.4 Pendekatan Transformasi Sosial.
Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk membantu orang-orang dan komunitas-komunitas untuk bisa menunjukkan keimanannya sebagai anggota masyarakat dan transformasi sosial. Dengan pendekatan ini diharapkan naradidik dapat menunjukkan ketaatan atau kepatuhan mereka sebagai warga masyarakat dan bisa memberikan suatu tranformasi bagi lingkungannya. Yang dimaksudkan transformasi disini adalah bagaimana naradidik dapat memberikan suatu perubahan yang membawa kebaikan bagi diri dan lingkungannya.
Tugas guru dalam pendekatan ini hanyalah sebagai pendukung atau perangsang bagi naradidik untuk bisa membangun hubungan dengan sesamanya dalam rangka berefleksi dan beraksi kepada sesamanya. Disini guru hanya pasif dan memberikan kesempatan kepada naradidik untuk bisa berkembang sesuai dengan pengalaman yang mereka dapat dalam berhubungan dengan sesamanya. Sedangkan tugas naradidik seperti yang telah disebutkan diatas bahwa naradidik lebih bersifat bebas namun naradidik juga harus bertanggungjawab atas tindakan yang mereka lakukan dalam hubungan yang mereka jalani dengan orang lain. Disini terlihat bahwa melalui pendekatan ini melatih naradidik untuk lebih bersikap dewasa dalam menyingkapi hubungan mereka dengan sesamanya.
Proses dalam pendekatan ini lebih bersifat mengamati kemudian menilai lalu menetukan tindakan yang harus dilakukan. Dalam pendekatan ini karena sifatnya yang langsung dalam praktek kehidupan sehari-hari, jadi naradidikpun dalam menerima pengetahuannya langsung dari pengalaman yang mereka alami. Sehingga proses pengamatan kemudian penilaian atas apa yang terjadi untuk menetukan tindakan apa yang harus dilakukan kemudian sangatlah penting agar tidak terjadi kesalahan dikemudian hari.
Konteks pendekatan ini adalah dalam rangka menunjukkan gereja dan pelayanannya ke dalam gereja itu sendiri dan keluar kepada dunia. Kembali saya unggkapkan bahwa pendekatan ini merupakan pendekatan yang dilakukan dengan praktek secara langsung dalam kehidupan nyata jadi konteks pendekatan ini ditujukan langsung kepada prakteknya.
Implikasi pendekatan ini terhadap pelayanan adalah untuk mendukung panggilan gereja untuk bisa menjadi jalan alternatif dalam memandang kehidupan, asal-usul, dan tempat manusia berada. Pendekatan seperti ini dilakukan oleh Rama Mangunwijaya dalam mengatasi penduduk liar di penggiran kali Code. Rama Mangun tidak begitu saja menganggap penduduk liar ini sebagai seorang pelanggar hukum namun Rama Mangun mencari jalan tengah antara pemerintah dengan penduduk di pinggiran kali Code. Inilah yang dimaksudkan dengan pendekatan Transformasi yaitu ketika seseorang bisa melakukan perubahan untuk kebaikan semua orang sehingga setiap orang bisa memiliki hubungan baik antara satu dengan yang lain.
Setelah warga jemaat bisa bertransformasi sosial maka warga jemaat bisa menerpakan kominitas basis. Yang dimaksudkan dengan komunitas basis adalah :
“Satuan umat yang relatif kecil dan yang mudah berkumpul secara berkala untuk mendengarkan firman Allah, berbagi masalah sehari-hari, baik masalah pribadi, kelompok maupun masalah sosial, dan mencari pemecahannya dalam terang Kitab Suci. Komunitas basis seperti ini terbuka untuk membangun suatu komunitas yang juga merangkul saudara-saudara beriman lain….komunitas basis itu diispirasikan oleh teladan hidup umat perdana seperti ditulis dalam kitab suci. Dengan demikian, komunitas basis bukan sekedar tampak sebagai bentuk atau wadah, dan bukan pula sekedar istilah atau nama, melainkan Gereja yang hidup bergerak dinamis dalam pergumulan iman.”
Setelah melihat definisi tersebut seharusnya gereja bisa melakukan komunitas basis jika warganya sudah bisa benar-benar bisa melakukan transformasi sosial. Dengan bisa melakukan komunitas basis gereja sudah bisa memnuhi panggilanya.


III. EVALUASI TERHADAP MASING-MASING PENDEKATAN.
3.1. Pendekatan Instruksional.
Pada pendekatan instruksional proses pembelajaran lebih bersifat resmi dan ada kurikulum. Yang diwujudkan dengan homemaking yaitu berusaha membuat suasana belajar seperti dalam rumah sendiri . Sistem pembelajaran seperti ini biasanya nampak pada sekolah minggu yang diadakan di gereja-gereja yang terdapat kurikulum yang digunakan dalam satu tahun.
Tipe pendekatan ini juga nampak pada seminar atau pembinaan yang ditujukan untuk orang dewasa yang biasanya sudah ditentukan materinya dalam jangka waktu satu tahun. Pendekatan seperti ini memang lebih terstruktur dan jelas apa tujuan yang hendak dicapai dari kegiatan yang dilakukan selama satu tahun itu, tapi yang menjadi masalah apakah kebutuhan naradidik pasti sama seperti yang telah ditentukan menjadi kurikulum itu. Mengingat selama satu tahun banyak perkembangan yang terjadi, seperti masalah yang dialami oleh orang dewasa pasti lebih kompleks dari anak-anak sehingga dalam pembinaan atau seminar itu yang mereka butuhkan adalah pengarahan bagaimana cara menghadapi masalah, jika materi selam satu tahun sudah ditentukan bagaimana jika ditengah jalan ada permasalah besar yang harus dibina apakah harus mengganti materi? Dan jika diganti apakah tujuan yang diharapkan bisa tercapai?
Kelebihan pendekatan ini adalah pendekatan ini memiliki tujuan yang jelas dalam setiap kegiatan yang dilakukan sehingga dapat diteliti apakah kegiatan yang dilakukan berhasil atau tidak pada akhir kegiatan.

3.2 Pendekatan Perkembangan Spiritual.
Pendekatan ini dalah pendekatan yang lebih bersifat personal jadi perkembangan yang terjadi dalam proses belajar tergantung masing-masing individu. Pendekatan ini tidak memiliki tujuan yang tertulis secara jelas seperti dalam pendekatan instruksional tetapi pendekatan ini hanya menekankan pada perkembangan masing-masing individu jadi untuk sulit untuk mengetahui apakah pendekatan ini sudah benar-benar mencapai tujuan atau tidak.
Pendekatan ini juga memiliki kelebihan yaitu pendekatan ini lebih menjurus ke individu jadi tiap individu bisa benar-benar bertumbuh tidak seperti pada pendekatan instruksional yang sifatnya lebih umum.

3.3 Pendekatan Komunitas Iman.
Pendekatan komunitas iman ini lebih menekankan kepada pembentukan kelompok kecil untuk membantu dalam proses pembelajarannya. Dengan adanya kelompok kecil seperti ini diharapkan naradidik dapat bercerita seluruh permasalahan yang dihadapinya sehingga guru bisa menemukan solusi yang tepat untuk masalahnya tersebut. Dengan adanya kelompok-kelompok kecil seperti ini gereja jadi bisa menjangkau seluruh warganya melalui kelompok-kelompok kecil tersebut.
Yang menjadi kelemahan dalam pendekatan ini adalah jika kelompok-kelompok tersebut tidak mau bergabung dengan kelompok yang lainnya gereja bisa terpecah-pecah karena masing-masing kelompok hanya mengurusi urusannya sendiri-sendiri tanpa mementingkan urusan kelompok lain. Kelompok tersebut biasanya berbentuk seperti Komse atau KTB. Padahal seharusnya kelompok ini menjadi perpanjanga tangan gereja dan menjadi satu dalam gereja bukan berdiri sendiri. Ini yang sering terjadi dalam kelompok-kelompok kecil yang dibentuk di gereja-gereja sekarang ini.

3.4 Pendekatan Tranformasi Sosial.
Pendekatan transformasi sosial ini agak lain dengan metode pembelajaran yang dilakukan pada pendekatan lainnya. Proses pembelajaran yang dilakukan pada pendekatan ini langsung pada praktek dalam kehidupan nyata. Pendekatan ini lebih bertujuan untuk mendukung naradidik agar bisa menunjukkan terangnya yang mencerminkan bahwa dirinya hidup di bawah pemerintahan Allah .
Kelemahan pendekatan ini adalah adanya “kekaburan” dalam proses belajarnya karena memang proses belajarnya langsung menjurus pada praktek jadi tiap-tiap orang berkembang sesuai dengan kemauannya sendiri. Pendekatan ini memang benar-benar berhasil jika naradidik sendiri punya niat yang kuat untuk belajar, tidak hanya setengah-setengah. Seperti yang telah dilakukan oleh Rama Mangun.

IV. RELEVANSI DALAM KEHIDUPAN GEREJA SAAT INI.
Dari penjelasan masing-masing pendekatan saya dapat mengambil sebuah relevansi dari pendekatan-pendekatan itu. Dari pendekatan-pendekatan itu seharusnya gereja saat ini bisa memilih mana pendekatan yang paling tepat untuk diterapkan di gerejanya sesuai dengan konteks jemaat disana.
Dengan adanya teori-teori tentang pendekatan dalam pendidikan kristiani bisa membantu gereja untuk menyusun sebuah kurikulum yang tepat untuk melakukan proses pembelajaran.

V. KESIMPULAN.
Pada bagian kesimpulan ini saya akan menjelaskan tentang kondisi gereja tempat asal saya dan menyimpulkan pendekatan apa yang selama ini dipakai oleh gereja tempat asal saya. Gereja tempat asal saya adalah salah satu gereja suku yaitu GKJW yang merupakan gereja suku jawa. Warga jemaat gereja saya pada umumnya adalah warga dengan ekonomi menengah kebawah dan pemudanya kebanyakan adalah pengangguran yang akhirnya banyak yang melakukan tindakan kriminal.
Kondisi lingkungan sekitar gereja saya merupakan lingkungan muslim. Jumlah orang Kristen hanya mungkin sepertiga jumlah orang muslim. Warga gerejanya banyak yang bermata pencaharian sebagai petani, tukang bangunan, dan pedagang.
Tipe pendekatan yang selama ini dipakai oleh gereja saya adalah pendekatan instruksional, karena dalam gereja selalu ada kurikulum yang sudah tersusun selama satu tahun. Seperti contoh, di sekolah minggu di gereja saya sudah terdapat buku penuntun untuk pengajar yang dibuat untuk jangka waktu satu tahun. Buku ini dibuat dengan tujuan supaya dalam jangka waktu kira-kira tiga tahun anak-anak sekolah minggu sudah mendengarkan dan diharapkan bisa mengerti seluruh cerita Alkitab. Dengan mereka sudah pernah mendengarkan cerita-cerita dalam Alkitab diharapkan kelak mereka jika memasuki jenjang yang lebih tinggi mereka lebih mudah untuk memahami cerita tersebut dengan menggunakan tafsiran yang lebih kompleks.Untuk kalangan orang tua pendekatan instruksional biasanya diterapkan dalam ibadah keluraga. Dalam ibadah keluarga ini pun sudah terdapat materi yang telah disusun untuk waktu satu tahun. Dari dua contoh tadi sudah nampak bahwa gereja saya menggunakan tipe pendekatan instruksional.
Selain pendekatan instruksional gereja saya juga menggunakan pendekatan Perkembangan spiritual dengan bukti adanya P.A. pemuda juga P.A. untuk orang dewasa. Tipe pendekatan ini memang berjalan cukup baik di gereja saya tetapi hanya pada P.A. untuk orang dewasa saja karena pada P.A. pemuda dengan adanya pemuda yang membentuk kelompuk-kelompok sendiri menjadikan P.A. itu tidak bisa berjalaan. Saat P.A. itu di datangi oleh pemuda dari satu kelompok pasti pemuda dari kelompok lain tidak berminat untuk datang.
Setelah memahami setiap pendekatan yang dilakukan dalam pendidikan kristiani saya merasa bahwa gereja saya cocok bila menggunakan tipe pendekatan komunitas iman. Tipe pendekatan ini saya rasa cocok dengan kondisi gereja saya saat ini karena dengan menggunakan tipe pendekatan ini gereja bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Selama dua bulan kemarin dari bulan Juni sampai Juli saya melakukan pengenalan jemaat di gereja saya tersebut sambil mengamati kondisi warga jemaat setempat. Pada umunya pemuda disana mempunyai kelompok-kelompok yang akhirnya membuat pemuda gereja pecah menjadi beberapa kelompok, ada yang isinya pemuda-pemuda yang kuliah, ada yang isinya semuanya pemuda pengganguran, dan ada juga yang isinya pemuda-pemuda yang tidak kuliah tapi sudah bekerja. Mereka tidak bisa bergaul satu dengan yang lain karena mereka menganggap mereka berbeda satu dengan yang lain, pemuda yang pengangguran biasanya merasa minder untuk berkumpul dengan pemuda yang kuliah atau yang sudah bekerja. Dengan pendekatan komunitas iman gereja seharusnya bisa membuat suatu kelompok seperti komsel atau kelompok apa yang justru jangan berbau rohani dulu melainkan kelompok yang tujuannya untuk bisa mengakrabkan kelompok-kelompok yang berpisah-pisah itu tadi. Setelah bisa saling akrab dan mau bercerita pengalaman masing-masing gereja bisa mengetahui apa yang menjadi permasalahan para pemuda yang “up to date”. Dengan mengtahui masalah-masalah yang dihadapi warganya sehingga gereja bisa menentukan cara apa yang paling tepat untuk bisa menyelesaikan masalah itu.
Tapi pendekatan ini juga memiliki resiko yaitu jika pemuda yang tadi terpecah-pecah kemudian dibentuk kelompok baru yang anggotanya diacak dari tiap kelompok. Dengan cara seperti akan memunculkan masalah baru jika para pemuda itu tidak mau menerima penyusunan kelompok itu dan yang akhirnya membuat mereka merasa tidak nyaman dan malahan melarikan diri dari persekutuan. Melihat resiko yang ternyata cukup besar juga maka pendekatan ini agaknya masih kurang cocok tapi mungkin untuk orang dewasa pendekatan ini mungkin sudah tepat untuk diterapkan karena orang-orang dewasa biasa lebih bisa memfokuskan tujuan untuk beribadah daripada para pemuda yang biasanya untuk beribadah masih memikirkan faktor-faktor eksternal seperti teman atau tempat.
Satu tipe pendekatan lagi yang mungkin bisa cocok dengan kondisi gereja saya adalah pendekatan transformasi sosial. Pendekatan seperti ini yang pada intinya mengajak para naradidik untuk langsung berpraktek dalam proses pembelajarannya bisa menarik para pemuda untuk bisa bergabung untuk bekerjasama. Seperti contoh proses pembelajaran yang diwujudkan dengan bakti sosial, dengan bakti sosial bersama dan masing-masing naradidk melepaskan predikatnya entah sebagai mahasiswa atau orang yang sudah bekerja lalu bersama-sama melakukan kegiatan bersama mungkin itu jauh lebih efektif. Dan juga biasanya para pemuda lebih bisa menghayati sesuatu jika sudah melakukan bukan hanya teori-teori saja.
Jadi menurut saya semua pendekatan cocok diterapkan di gereja saya dengan melihat konteks dimana pendekatan itu dilakukan tapi menurut saya pendekatan yang paling cocok untuk gereja saya adalah pendekatan transformasi sosial. Pendekatan transformasi sosial saya rasa cocok karena pendekatan ini merupakan wujud nyata dari teori-teori pendekatan yang lain. Pendekatan instruksional saya rasa cocok untuk diterapkan pada anak-anak sekolah minggu karena mereka belum bisa berfikir menggunakan nalarnya dengan baik. Pendekatan perkembangan spiritual cocok untuk orang-orang dewasa dan pemuda dengan adanya P.A. atau bentuk yang lainnya. Pendekatan Komunitas iman cocok diterapkan untuk orang-orang dewasa karena dengan pendekatan ini orang-orang dewasa biasanya lebih mudah untuk bisa bercerita. Seperti yang sudah saya tuliskan diatas bahwa seitap pendekatan tadi harus diikuti pendekatan transformasi sosial yang merupakan wujud aksi keluar bagi gereja sesuai dengan panggilannya.




























VI. DAFTAR PUSTAKA.
Seymour, Jack L., ed. Mapping Christian Education: Approaches to Conggregational Learning. Nashville: Abingdon Press, 1997.
Hadinoto, N.K. Atmaja. Dialog dan Edukasi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990.
Suparno, Paul. Teori Perembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Kohlberg, Lawrence. Edisi bahasa Indonesia: Tahap-tahap Perkembangan Moral. Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Fowler, James. Stages of Faith. Edisi bahasa Indonesia: Cremers, Agus. Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler. Yogyakarta; Kanisius, 1995.

Rabu, 17 Desember 2008

Agama Negara atau Negara Agama??

Agama adalah suatu bentuk kepercayaan terhadap adanya wujud-wujud spiritual[1]. Definisi Agama yang seperti ini yang menyebabkan banyak orang beranggapan bahwa Agama hanya berurusan dengan hal-hal yang sifatnya Spiritual saja tanpa memperhatikan hal-hal yang sifatnya duniawi. Kita tidak bisa melepaskan hal-hal spiritual dari kehidupan duniawi kita karena kita hidup di dunia nyata. Sedangkan Negara selama ini dimengerti sebagai suatu sistem yang bertujuan untuk mengatur kehidupan warganya. Negara memang selalu berhubungan dengan hal-hal yang sifatnya duniawi. Dua pengertian yang memang nampaknya bertolak belakang namun pada hakikatnya dua hal ini tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Dua pengertian yang bertolak belakang ini memungkinkan munculnya Agama Negara. Agama Negara yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dimana Agama merasa nyaman dan aman karena sudah diakui dan dilindungi oleh Negara. Kondisi seperti ini memang nampaknya sebuah kabar baik bagi Gereja, namun memiliki dampak negatif bagi Gereja. Kondisi yang aman dan nyaman seperti ini mungkin saja membuat Agama secara khusus Gereja menjadi lupa akan tugas dan panggilannya. Gereja menjadi kurang peka akan kondisi lingkungan sekitarnya dan juga Gereja menjadi kurang peduli terhadap Negara karena Gereja sudah merasa nyaman berada dalam sistem yang telah dibuat oleh Negara. Kondisi yang seperti ini sebenarnya menjadi suatu bahaya tersendiri bagi Gereja. Gereja yang nyaman berada dalam sistem membuat Gereja tidak peka terhadap sistem yang dijalankan oleh Negara meskipun tidak cocok dengan tugas dan panggilan Gereja. Pergeseran ini yang membuat seolah-olah Gereja menjadi dikendalikan oleh Negara.

Agama Negara yang membuat seolah-olah Gereja berada di bawah kendali Negara menunjukkan posisi Gereja yang lemah dan tidak berdaya jika tidak dilindungi oleh Negara. Sebaliknya dengan definisi Agama dan Negara seperti diatas membuat Gereja menjadi superman dibandingkan Negara. Negara yang dianggap hanya berurusan dengan hal duniawi saja dan terkesan kotor dianggap lebih rendah daripada Gereja. Hal seperti ini yang akhirnya membentuk suatu Negara Agama. Negara Agama yang dimaksudkan di sini adalah kondisi dimana Agama memiliki pengaruh yang sangat besar dalam sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Negara, sehingga Gereja mungkin saja terjebak dalam politik praktis. Gereja bukan berarti tidak boleh ikut campur dalam sistem pemerintahan yang dijalankan oleh Negara tetapi Gereja juga tidak boleh terlewat batas dalam rangka ikut serta dalam usaha Negara untuk menjalankan sistem pemerintahannya.

Partisipasi Gereja dalam sistem pemerintahan Negara bukan suatu interupsi yang frontal tetapi juga bukan partisipasi sebagai anak manis yang hanya menurut dengan setiap keputusan yang diambil oleh Negara. Gereja juga harus tetap konsisten dengan tugas dan panggilannya. Bagaimanapun Gereja tetaplah Gereja[2]. Gereja bukan suatu lembaga yang berguna untuk membantu warganya mendapatkan legitimasi hukum, Gereja tetaplah tempat berkumpulnya orang-orang percaya yang mengimani kasih Tuhan dalam kehidupan ini. Agama khusunya gereja tidak mengajarkan warganya untuk menang dan mengalahkan yang lain, namun Gereja mengajarkan untuk bersama-sama menuju kemenangan yang diidamkan semua orang secara bersama-sama. Ketika Gereja dianggap sebagai suatu lembaga yang dapat membantu warganya mendapatkan legitimasi hukum maka Gereja akan menjadi suatu lemabaga yang berusa menyelatka seorang dan mengorbankan yang lain, kondisi seperti ini yang disebut bahwa Gereja lupa akan tugas dan panggilannya di dunia ini.

Dalam hubungan dengan Negara, Gereja perlu melihat lebih dalam tetang peran serta yang harus dilakukannya dan juga sejauh mana harus ikut campur dalam urusan Negara. Gereja memang tidak boleh tinggal diam dengan kondisi yang terjadi di sekitarnya tetapi Gereja juga tidak boleh terlalu mencampuri dalam setiap urusan Negara karena bagaimanapun jika Gereja terlalu mencampuri dalam urusan Negara maka Negara hanya akan dapat melihat permasalahan dari satu sudut pandang saja. Kondisi seperti ini sangat membahayakan kedaulatan Negara apalagi dalam konteks Negara Indonesia yang terdapat beragam Agama. Relasi antara Agama dan Negara adalah pertama-tama hubungan antara dua pola dalam kehidupan orang beriman[3]. Orang beriman tidak bisa menganggap bahwa dia hanya hidup secara spiritual belaka namun juga hidup bersama masyarakat yang juga harus memperhatikan hal-hal duniawi. Oleh karena sikap orang beriman sangat menentukan dalam hubungan Gereja dan Negara, karena orang-orang beriman inilah yang menjadi pelaku hubungan antara Gereja dan Negara.



[1] Pendapat E.B. Taylor dalam buku Kajian Sosiolgi Agama karangan Betty, R. Scharf halaman 30.

[2] Dr. T.B. Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila. BPK : Jakarta. 118.

[3] Eddy Kristiyanto. Sakramen Politik. Lamalera : Yogyakarta. 2008., hlm. 144.

Rabu, 26 November 2008

Me.......

aku..........